Jakarta, HALO Indonesia – Mitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dilakukan secara terpadu dengan melibatkan unsur instansi pusat, daerah hingga kalangan usaha serta media.
“Sebesar 99% kasus karhutla ulah manusia. Kenapa segitiga api muncul itu karena ada oksigen, kerusakan lingkungan mengakibatkan lahan gambut yang kering, terbakar seperti di kalimantan yang sifatnya rawan. Ulah manusia adalah satu bahan bakar, panasnya dari titik api yang disulut secara sengaja oleh manusia,” ujar Deputi Bidang Sistem dan Strategi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Bernardus Wisnu Widjaja dalam acara diskusi media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 dengan tema “Tanggap Bencana Karhutla”, yang berlangsung di Kementerian Kominfo, Jakarta, Kamis (23/09/2019).
Menurut Wisnu Widjaja, saat ini BNPB melaksanakan operasi pemadaman besar-besaran di beberapa titik paling rawan di Riau, Sumsel, Jambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah untuk mencegah karhutla yang lebih luas. Apalagi akibat karhutla dalam beberapa bulan terakhir ada sebanyak 919 ribu orang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan.
“Yang kita lakukan ada operasi darat, kita kirimkan 29.029 kita kerahkan personel baik instansi pusat dan daerah. Pada prinsipnya pencegahan karhutla ini harus dari pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan juga media. Kami mengajak semuanya.”
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah melibatkan paling banyak personel. Sebanyak 10.015 personel dikerahkan untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di wilayah itu dengan dukungan tujuh helikopter untuk pengeboman air dan dua helikopter untuk patroli.
Di Sumatera Selatan, tempat penanggulangan karhutla melibatkan 8.679 personel serta tujuh helikopter pengeboman air dan dua helikopter patroli. Sedangkan, di Riau, upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang melibatkan 5.809 personel serta enam helikopter pengeboman air dan satu helikopter patroli
Dari catatan mutakhir BNPB, Senin (23/09/2019) sudah seluas 328.734 hektare lahan yang terbakar di Sumatera dan Kalimantan, masih ada 3.124 titik api, operasi pemadaman dengan mengerahkan 48 helikopter untuk menurunkan 287 juta liter water bomb dan menggelar patroli di wilayah rawan karhutla.
Di samping melakukan operasi darat, BNPB bersama-sama dengan BPPT dan BMKG melakukan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dengan menaburkan 176 ribu ton garam NacL dari udara. Upaya tersebut agar menghadirkan hujan untuk memadamkan titik-titik api dan membasahi lahan gambut yang rentan terbakar. Hasilnya dalam seminggu terakhir, sejumlah kawasan di Aceh, Riau, Kalbar dan Kalteng diguyur hujan.
BNPB melakukan pemantauan dan pelaporan setiap hari terkait kondisi termutakhir karhutla. Adapun, BNPB memantau titik panas, jarak pandang, kualitas udara, dan keberadaan asap setiap hari. Membuat pelaporan dan briefing setiap hari kepada instansi terkait serta personel di lapangan.
Adapun, BNPB terus mendorong penegakan hukum bagi kalangan yang memicu karhutla dengan melibatkan Ditjen Penegakan Hukum KLHK, Polri, Kejaksaan dan KPK.
Modifikasi Cuaca
Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam (TPSA BPPT) Yudi Anantasena menyampaikan penyemaian akan dilakukan jika potensi awan terpantau di langit Jambi. “TMC akan berhasil jika ada potensi awan disana,” tegasnya.
Menurutnya, BPPT akan memberangkatkan tim dari Pekanbaru melalui Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi melalui Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC-BPPT) akan merekayasa hujan di Provinsi Jambi. Operasi hujan buatan akan dimulai hari ini (23/9). BPPT melibatkan TNI AU dalam operasi rekayasa hujan ini. Penebaran garam NaCl akan menggunakan pesawat Hercules C-130 dan juga melibatkan BMKG.
Ia menambahkan, berdasarkan prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), potensi awan akan membaik beberapa hari ke depan. BPPT akan mengoptimalkan potensi awan untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Yudi menjelaskan timnya akan melakukan penyemaian kapur tohor (CaO) di pagi hari. Upaya itu akan mengurangi kepekatan asap dan memudahkan pertumbuhan awan potensial di wilayah Jambi. “Setelah awan-awan terpantau, baru di siang hingga sore harinya melakukan penyemaian menggunakan garam NaCL untuk menurunkan hujan,” jelas Yudi.
Menurutnya, provinsi Riau dan Sumsel telah diberlakukan TMC sejak Pebruari 2019 lalu berhenti di bulan Mei 2019 dengan adanya curah hujan. Lalu mulai lagi sejak bulan Juli 2019. Sedangkan Sumsel sudah dilakukan dari bulan Agustus 2019.”Jika potensi awan tak ada maka pindah ke lokasi lain,” tambahnya.
Adapun Provinsi Riau ada potensi hujan pekan ini. Jambi bisa dicover dari Riau maupun Sumsel. “Karena berada di tengah-tengah dua posko tersebut,” pungkasnya.
Hadir juga sebagai narasumber dalam FMB 9 kali ini antara lain Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Apani Saharudin, Asisten Pemerintahan, Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Provinsi Jambi.